Minggu, Maret 27, 2016

PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK) SD MATA PELAJARAN IPA KELAS IV

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
     Setiap warga Negara Indonesia mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Pendidikan yang diperoleh dapat terjadi baik secara formal, informal maupun non formal. Pendidikan yang terjadi dalam lingkungan sekolah sering disebut dengan pendidikan formal, sebab sudah memiliki rancangan pendidikan berupa kurikulum tertulis yang tersusun secara jelas dan rinci.
Pendidikan di sekolah sebagian besar terjadi dalam kelas dan lingkungan sekolah, dan sebagian kecil terjadi di lingkungan masyarakat. Dalam pendidikan terdapat beberapa komponen penting. Dimana komponen-komponen tersebut saling berkaitan antara komponen satu dengan komponen yang lainnya. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang memungkinkan terjadinya interaksi antara pendidik, peserta didik, alat / media dan lingkungan belajar. Dengan adanya interaksi yang baik antara pendidik, peserta didik, alat / media dan lingkungan belajar, maka tujuan pembelajaran akan tercapai secara optimal. Dalam hal ini guru dituntut aktif, kreatif dan inovatif serta mempunyai kemampuan untuk merencanakan dan melaksanakan program pembelajaran.
     Pembelajaran  IPA dianggap mempunyai materi yang sulit karena terdapat banyak istilah latin. Sebagian besar guru dalam menyajikan pelajaran IPA kepada peserta didik menggunakan model pembelajaran dan metode yang monoton, tidak bervariasi. Padahal pembelajaran IPA seharusnya menarik dan memyenagkan bagi peserta didik, karena sebagian besar materi IPA terdapat disekitar peserta didik. Misalnya materi tentang tumbuhan, perkembangbiakan, gaya, magnet, lingkungan, panas dan lain sebagainya. Selain itu alat peraga / media pembelajaran IPA juga dapat ditemukan disekitar peserta didik. Kegiatan pembelajran IPA dapat diikuti secara aktif oleh peserta didik melalui eksperimen, pengamatan bahkan dengan penemuan. Disini bukan guru yang berceramah, bercerita, dan mendominasi kegiatan belajar, sehingga mampu menumbuhkan motivasi peserta didik untuk belajar. Dengan demikian tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal.
       Tolok ukur keberhasilan guru adalah apabila peserta didik mampu memahami dan menguasai materi yang disampaikan yang diukur dari hasil tes baik tertulis maupun lisan untuk mendapatkan informasi dari hasil pembelajaran
     Seorang guru akan melaksanakan tindak lanjut setelah melaksanakan evaluasi baik pengayaan maupun remedial. Hal ini bertujuan untuk mencapai tujuan pembelajaran secara optimal. Dari hasil tes formatif mata pelajaran IPA kelas IV tentang menggolongkan hewan, berdasarkan jenis makanannya, hanya 5 dari 22 peserta didik yang mencapai ketuntasan belajar hanya 23 %.
     Berdasarkan  data di atas penulis ingin meningkatkan pemahaman peserta didik tentang materi pelajaran dengan melakukan perbaikan pembelajaran melalui PTK ( Penelitian Tindakan Kelas ) yang dilaksanakan dengan teman sejawat dan supervisor.

B.  Identifikasi Masalah.
Dari  hasil tes formatif mata pelajaran IPA kelas IV tentang menggolongkan hewan, berdasarkan jenis makanannya hanya 5 peserta didik dari 22 peserta didik yang mencapai tingkat pemahaman dan penguasaan materi 70 % keatas. Dari data tersebut ternyata selama proses pembelajaran berlangsung terlihat peserta didik kurang memperhatikan, kurang termotivasi untuk belajar, tidak mau bertanya pada guru dan sulit menangkap pelajaran.
Berdasarkan data yang diperoleh diatas tersebut, peneliti akan memperbaiki proses pembelajaran melalui PTK untuk meningkatkan pemahaman materi dan motivasi serta hasil belajar peserta didik.
Untuk mengidentifikasi permasalahan dari proses pembelajaran yang dilaksanakan, peneliti minta bantuan teman sejawat dan supervisor. Dari hasil pengamatan teman sejawat dan supervisor ditemukan beberapa permasalahan yaitu :
1.    Kurangnya motivasi peserta didik untuk belajar.
2.    Peserta didik kurang memperhatikan penjelasan guru.
3.    Peserta didik tidak mau bertanya kepada guru.
4.    Peserta didik sulit menangkap materi pelajaran.
5.    Pemahaman dan penguasaan peserta didik terhadap materi rendah.

C.  Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, agar peneliti lebih terarah dan diharapkan masalah yang dikaji lebih mendalam, perlu adanya pembatasan masalah yang akan diteliti.
Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.      Metode pembelajaran yang akan digunakan dalam peneltian ini adalah model menemukan ( Discovery Learning).
2.        Keaktifan peserta didik dalam pembelajaran dibatasi pada keaktifan peserta didik untuk ikut terlibat dalam menguasai materi pokok menggolongkan hewan, berdasarkan jenis makanannya.
3.        Materi IPA dibatasi pada pokok bahasan menggolongkan hewan, berdasarkan jenis makanannya kelas IV.

D.  Rumusan Masalah          
Berdasarkan identifikasi masalah dan hasil analisis yang dilakukan peneliti serta masukan teman sejawat dan bantuan supervisor maka ditemukan rumusan masalahnya yaitu :
1.    Bagaimanakah upaya meningkatkan keaktifan peserta didik pada pembelajaran IPA melalui penggunaan model menemukan ( Discovery Learning) di kelas IV SD Negeri Cilibur 01  semester I tahun pelajaran 2014/2015?
2.    Bagaimanakah peningkatan kemampuan peserta didik pada pembelajaran IPA melalui penggunaan model menemukan ( Discovery Learning) di kelas IV SD Negeri Cilibur 01  semester I tahun pelajaran 2014/2015
3.    Bagaimanakah peningkatan prestasi belajar peserta didik pada pembelajaran IPA melalui penggunaan model menemukan ( Discovery Learning) di kelas IV SD Negeri Cilibur 01  semester I tahun pelajaran 2014/2015?

E.  Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini antara lain :
1.    Untuk meningkatkan keaktifan peserta didik pada pembelajaran IPA melalui penggunaan model menemukan ( Discovery Learning) di kelas IV SD Negeri Cilibur 01  semester I tahun pelajaran 2014/2015.
2.    Untuk mengetahui peningkatan kemampuan peserta didik pada pembelajaran IPA melalui penggunaan model menemukan ( Discovery Learning) di kelas IV SD Negeri Cilibur 01  semester I tahun pelajaran 2014/2015.
3.    Untuk mengetahui peningkatan hasil belajar pada pembelajaran IPA melalui penggunaan model menemukan ( Discovery Learning) di kelas IV SD Negeri Cilibur 01  semester I tahun pelajaran 2014/2015.

F.   Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan manfaat baik bagi peneliti, peserta didik maupun sekolah.
1.    Manfaat bagi peneliti :
a.    Dapat memperbaiki proses pembelajaran yang dikelolanya.
b.    Dapat meningkatkan kualitas pembelajaran.
c.    Dapat memperbaiki kinerja.
d.   Dapat menambah rasa percaya diri.
2.    Manfaat bagi peserta didik :
a.    Motivasi belajar peserta didik meningkat.
b.    Meningkatkan keaktifan peserta didik dalam belajar.
c.    Meningkatkan pemahaman dan penguasaan materi pelajaran.
d.   Merangsang peserta didik untuk mengungkapkan ide.
e.    Prestasi belajar peserta didik meningkat.
3.    Manfaat bagi sekolah :
a.    Memotivasi guru lain untuk melaksanakan model pembelajaran yang bervariasi.
b.    Meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
c.    Meningkatkan proses pembelajaran di sekolah.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.  Landasan Teoretis
Penyelenggaraan kegiatan belajar di sekolah hendaknnya berorientasi pada perkembangan peserta didik. Hal ini dikarenakan anak pada tingkat usia sekolah dasar memiliki karakteristik tersendiri. Menyimak pendapat Bredkamp (1087) konsep “Developmental appropiateness” menunjukkan bahwa pendekatan pengajaran yang berorientasi pada perkembangan anak itu mempunyai dua dimensi pemahaman. Pertama adalah dimensi umur (age aprropriate) dan yang kedua adalah dinmensi individual (individually aprropriate).
Dengan memahami dimensi umur peserta didik, guru dalam menyelenggarakan itu tidak akan pernah bisa mengabaikan aspek perkembangan peserta didik. Misalnya diakui Bredkamp bahwa : hasil pendidikan mengenai perkembangan mannusia itu memperlihatkan hal yang berlaku umum (universal), yakni adanya perkembangan yang dapat diramalkan mengenai pertumbuhan (grounth) dan perubahan (cange) yang terjadi terutama selama usia 9 tahun pertama. Perubahan yang bisa diramalkan itu menyangkut kognitif. Pemahaman tentang keunikan perkembangan peserta didik dalam rentang waktu (umur) tersenut selayaknya menjadi acuan atau dasar filosofis  setiap pelayanan program pengajaran yang disediakan guru. Guru sepatutnya mampu mempersiapkan dan menyediakan lingkungan belajar dan pengalaman belajar yang benar – benar appropriate (layak, pantas, cocok, padat atau tepat) dengan perkembangan anak.
Belajar merupakan hasil interaksi antara pikiran dan pengalaman anak dengan bahan, gagasan, dan orang lain haruslah cocok (matched) dan menantang (challenging) minat dan pemahaman peserta didik. Hal tersebut tentu saja memberi tuntutan kepada guru untuk dapat menciptakan lingkungan belajar yang dapat menampung semua kebutuhan peserta didik. Kaitannya dengan pembelajaran matematika guru dituntut untuk merancang dan mampu melaksanakan strategi belajar yang tepat.
Seiring terdengar keluhan dari para guru di lapangan tentang materi  yang terlalu banyak dan kekurangan waktu untuk mengajarkannya semua, apalagi menerapkan inovasi-inovasi dalam pembelajaran bidang studi dalam kelas. Keadaan ini berlaku juga dalam pembelajaran IPA.
IPA SD bukan hanya sekedar mengetahui materi ke-IPA-an yang bersifat hafalan, tetapi pengajaran yang memberikan konsep dalam mengembangkan cara berfikir yang sehat berdasarkan kaidah-kaidah IPA. Dalam mempelajarinya tidaklah semua dapat dijelaskan dengan kalimat namun harus melalui kegiatan pengolahan informasi yang menemukan kebutuhan-kebutuhan untuk mengenal dan menjelaskan gejala yang ada di lingkungan sekitar.Kegiatan ini meliputi pembentukan konsep-konsep yang dihasilkan melalui pengabstraksian dari kesamaan kejadian-kejadian dan pengalaman-pengalaman.
   Peran guru dalam upaya membangun konsep peserta didik sangat diperlukan untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas.Untuk dapat menciptakan out put yang cakap dan handal, profesi guru harus mau menggali dan mengimplementasikan model pembelajaran. Model pembelajaran harus mampu melibatkan peran aktif peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri secara bermakna, menunjukkan keterkaitan konsep-konsep atau gagasan-gagasan antar peserta didik dalam mengkonstruksikan pengetahuan dan mengaitkan gagasan peserta didik, hal tersebut sesuai dengan pandangan konstruktivisme.
   Menurut rujukan konstruktivisme, setiap orang yang belajar sesungguhnya membangun pengetahuannya sendiri. Keberhasilan belajar peserta didik tidak hanya bergantung pada lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan awal peserta didik. Dalam belajar melibatkan pembentukan makna oleh peserta didik dari apa yang mereka lakukan, lihat dan dengar. ( West dan Pines, 1985 ). Pengetahuan tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke peserta didik, namun secara aktif dibangun peserta didik melalui pengalaman nyata mereka. Senada dengan pernyataan ini, belajar IPA merupakan proses konstruktif yang menghendaki partisipasi aktif dari peserta didik ( Piaget dalam Dohar,1996 ), sehingga pesan guru berubah, dari sumber dan pemberi informasi menjadi pendiagnosis dan fasilitator belajar peserta didik.
     Pembelajaran IPA harus dirancang sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara maksimal. Rancangan pembelajaran disebut juga model pembelajaran. Model pembelajaran dapat digunakan sebagai suatu rencana atau kerangka untuk merancang mekanisme pengajaran yang bermakna. Pembentukan makna merupakan suatu proses aktif yang terus berlanjut.Maka agar pembelajaran IPA menjadi bermakna, diperlukan adanya konteks ekologi konsepsi yang sesuai, misalnya rasa tidak puas pada anak atas gagasan yang dimilikinya, gagasan baru yang dapat dimengerti ( intelligible), konsepsi baru yang masuk akal (phosible) dan konsepsi baru yang bermanfaat ( fruitfull).
   Seperti tertulis pada awal paragraf bahwa, dalam proses belajar anak membangun pengetahuannya sendiri dan memperoleh banyak pengetahuan di luar sekolah ( Dohar, 1986:160 ). Oleh karena itu, setiap peserta didik akan membawa konsepsi awal mereka yang diperoleh selama berinteraksi dengan lingkungan dalam kegiatan belajar mengajar. Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa seseorang akan mengingat dan menggunakan kembali pengetahuan yang diperoleh, apabila pengetahuan tersebut dari upaya mengkonstruksi sendiri. ( Mc Namara dan Healy, 1995 ).
   Belajar melalui pengalaman ( learning by doing ) dalam bentuk eksplorasi dan memanipulasi akan menjadikan sesuatu yang dipelajari diingat untuk waktu yang lama (Long term memory). Dan khususnya bagi anak-anak usia sekolah dasar, sesuai dengan tahap perkembangannya. Mereka lebih mudah memahami sesuatu fenomena melalui pengalaman kongkrit, dibandingkan hanya mendengar dari guru atau membaca materi pelajaran.
     Dari beberapa uraian di atas peneliti berpendapat bahwa untuk lebih memudahkan pemahaman peserta didik dalam pelajaran IPA, peneliti menggunakan model pembelajaran penemuan ( Discovery learning ). Adapun pengertian model pembelajaran penemuan ialah suatu rencana atau kerangka yang dapat digunakan untuk merancang mekanisme pengajaran yang bermakna dalam mengkonstruksi pengetahuan peserta didik itu sendiri.Agar belajar peserta didik menjadi bermakna maka, diperlukan adanya konteks ekologi konsepsi yang sesuai, misalnya rasa tidak puas pada anak atas gagasan yang dimilikinya, gagasan baru yang dapat dimengerti ( intelligible), konsepsi baru yang masuk akal (phosible) dan konsepsi baru yang bermanfaat ( fruitfull).
   Model pembelajaran menemukan ( Discovery Learning ) memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berinteraksi dengan lingkungan fisik ataupun sosialnya. Peserta didik berkesempatan untuk mengungkapkan gagasannya secara eksplisit dengan menggunakan bahasa peserta didik sendiri, berbagai gagasan dengan temannya, dan mendorong peserta didik memberikan penjelasan tentang gagasannya. Melalui pengalamannya peserta didik dapat berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi teori dan modul, dan mengenalkan gagasan-gagasan SAINS pada saat yang tepat. Kegiatan mencoba-coba gagasan baru dapat mendorong peserta didik untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks baik yang telah dikenal maupun yang baru, hingga akhirnya memotivasi peserta didik untuk menggunakan berbagai strategi belajar secara mandiri. Disamping itu, lingkungan belajar yang kondusif dapat mendorong peserta didik mengungkapkan gagasan, saling menyimak dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar. Jadi dengan model pembelajaran discovery ini guru hanya membantu peserta didik dan bertugas menciptakan suatu konflik terhadap peserta didik untuk mengungkapkan atau mengemukakan gagasannya, dan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan eksperimen, observasi atau membaca melalui interaksi sosial.
     Adapun menurut Brunner model pembelajaran penemuan dianggap sesuai dengan hakiki manusia yang mempunyai sifat untuk selalu ingin mencari ilmu pengetahuan secara aktif, memecahkan masalah dan informasi yang diperolehnya, serta akhirnya akan mendapatkan pengetahuan yang bermakna.
   Model pembelajaran penemuan dipandang sebagai suatu proses pembelajaran yang terjadi apabila siwa tidak diberikan dengan konsep atau teori, melainkan peserta didik sendiri yang harus mengelola dan melakukan penemuan sehingga dapat menemukan konsep atau teori itu.Hal ini mensyaratkan peserta didik untuk menemukan hubungan-hubungan diantara informasi yang ada. Menurut Brunner, tujuan pembelajaran penemuan bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan saja melainkan untuk memberikan motivasi kepada peserta didik, melatih kemampuan berpikir intelektual, dan merangsang keingin tahuan peserta didik.
   Brunner mengemukakan bahwa proses pembelajaran di kelas bukan untuk menghasilkan perpustakaan hidup untuk suatu subyek keilmuwan tetapi untuk melatih peserta didik berpikir secara kritis untuk dirinya, mempertimbangkan hal-hal yang ada disekelilingnya, dan berpartisipasi secara aktif  didalam proses mendapatkan pengetahuan. Disini jelas bahwa proses pembelajaran yang dianjurkan oleh Brunner merupakan proses pembelajaran dimana peserta didik secara aktif mencari sendiri pengetahuan yang diinginkan.
   Satu ciri utama dari proses pembelajaran penemuan ini adalah keterlibatan guru yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan metode pembelajaran lainnya. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa seorang guru terbebas dari pemberian bimbingan terhadap peserta didik saat diberikan masalah yang harus dipecahkan. Secara singkat, Brunner memberikan tiga ciri utama pembelajaran penemuan, yaitu :
a.    Keterlibatan peserta didik dalam proses belajar.
b.    Peran guru adalah sebagai seorang penunjuk dan pengarah bagi peserta didiknya yang mencari informasi. Jadi guru bukan sebagai penyampai informasi.
c.    Umumnya dalam proses pembelajaran digunakan barang-barang nyata.
Dengan demikian, melalui model pembelajaran menemukan ( Discovery learning ) proses belajar mengajar dapat terjadi secara baik. Dalam proses pembelajaran menemukan ini, akan terjadi interaksi antara guru dengan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik, maupun peserta didik dengan lingkungan secara aktif. Oleh karena itu, pemahaman peserta didik lebih optimal dan tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan maksimal.


B.  Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dilakukan oleh Yupita (2012) yang berjudul “Penerapan Model Discovery Learning untuk meningkatkan Hasil Belajar IPS di Sekolah Dasar” yang menghasilkan menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model discovery dapat meningkatkan aktivitas guru dan siswa serta hasil belajar siswa. Hal ini terbukti dari hasil pengamatan yang diperoleh pada tiap siklusnya. Pada siklus I, aktivitas guru mencapai 78,57%, aktivitas siswa 66,07%, dan hasil belajar siswa 63,89%. Pada siklus II, aktivitas guru mencapai 83,9%, aktivitas siswa 78,6%, dan hasil belajar siswa 77,77%. Dan pada siklus III, aktivitas guru mencapai 91,07%, aktivitas siswa 87,5%, dan hasil belajar siswa 94,44%. Maka dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran discovery yang dilaksanakan dalam pembelajaran IPS pada materi perkembangan teknologi dapat meningkatkan aktivitas guru, aktivitas siswa, dan hasil belajar siswa kelas IV SDN Surabaya.
Penelitian yang dilakukan oleh Pamungkas (2013) dengan judul “Penerapan Model Discovery Learning untuk Meningkatkan Keaktifan Siswa Kelas IV pada Mata Pelajaran IPA di SD Negeri 01 Putatsari Kabupaten Grobogan Tahun Pelajaran 2012/2013” dengan hasil siklus I keaktifan belajar siswa 52,78%. Sedangkan siklus II terjadi peningkatan keaktifan belajar siswa menjadi 86,67%. Ditinjau dari hasil penelitian, maka penerapan model Discovery Learning dapat meningkatkan keaktifan belajar siswa pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dengan materi perubahan kenampakan bumi. Dengan demikian, guru dapat menggunakan model Discovery Learning sebagai inovasi model pembelajaran untuk meningkatkan kesktifan belajar siswa dan hasil belajar siswa.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Sulbani (2014) berjudul “Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar IPA dengan Pendekatan Discovery Learning pada Siswa Kelas IV MI Muhammadiyah Nogosari Girimulyo Kulon Progo Yogyakarta” menghasilkan proses pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan Discovery Learning di MI Muhammadiyah Nogosari pada materi perubahan penampakan pada bumi dan benda langit dilaksanakan dengan menggunakan penalaran, menyusun bukti, menjelaskan, memecahkan masalah, dan mengkomunikasikan gagasan sesuai materi, kegiatan belajar mengajar menggunakan pendekatan Discovery Learning dapat meningkatkan prestasi siswa kelas IV MI Muhammadiyah Nogosari dengan peningkatan rata-rata sebanyak 20,00, nilai tersebut didapat dari rata-rata sebelum pembelajaran Discovery Learning 58,57, dan nilai rata-rata sesudah pembelajaran Discovery Learning 78,57 dengan demikian pendekatan Discovery Learning dapat digunakan untuk meningkatkan prestasi belajar di MI Muhammadiyah Nogosari.

C.  Kerangka Berpikir
                        Dari kajian teori yang peneliti paparkan di atas,dapat peneliti garis bawahi bahwa untuk meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap materi pembelajaran IPA model pembelajaran yang sesuai adalah model pembelajaran penemuan ( Discovery Learning ). Dalam proses pembelajaran penemuan dapat terjadi interaksi yang baik antara pendidik, peserta didik dan lingkungan. Dengan demikian pemahaman peserta didik dapat meningkat dan tujuan pembelajaran tercapai. Hal ini dikarenakan peserta didik terlibat aktif dalam proses pembelajaran, memecahkan masalah dan memperoleh informasi yang diinginkan, serta akhirnya akan mendapatkan pengetahuan yang bermakna.


Kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat digambarkan pada skema di bawah ini.
















D.  Hipotesis Tindakan
     Setelah melalui kajian teori dan kerangka berpikir diatas, dapat peneliti rumuskan bahwa penggunaan model pembelajran penemuan ( Discovery Learning ) dapat meningkatkan pemahaman peserta didik tentang menggolongkan hewan, berdasarkan jenis makanannya pada materi pembelajaran IPA. Hal ini dikarenakan dalam pembelajaran penemuan terjadi interaksi aktif antar komponen pendidikan dalam proses pendidikan.
  

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A.  Kesimpulan
                        Penelitian Tindakan Kelas Mata Pelajaran IPA Kelas IV Semester I di SD Negeri Cilibur 01 dengan Judul “Upaya Meningkatkan Keaktifan dan Prestasi Belajar Peserta Didik pada Pembelajaran IPA Melalui Model Discovery Learning di Kelas IV SD Negeri Cilibur 01 Semester I Tahun Pelajaran 2014/2015”, menghasilkan simpulan sebagai berikut :
1.      Penggunaan model pembelajaran penemuan dalam pelajaran IPA sangat penting karena dapat membantu peserta didik dalam berpikir secara konkret. Hal ini terbukti dari 22 peserta didik sebanyak 20 peserta didik yang tuntas dalam pembelajaran atau 90,91%.
2.      Dengan melakukan percobaan dapat memudahkan peserta didik memahami materi dan mengingatnya kembali.
3.      Kegiatan pembelajaran dengan menggunakan beberapa percobaan dapat menarik minat peserta didik dan peserta didik termotivasi untuk belajar dengan sungguh-sungguh sehingga peserta didik benar-benar aktif dalam belajar.
4.      Dengan menggunakan model pembelajaran penemuan pada proses pembelajaran maka hasil prestasi belajar peserta didik lebih meningkat.


B.  Saran
                        Berdasarkan kesimpulan dari kegiatan PTK yang telah dilaksanakan, ada beberapa hal yang sebaiknya menjadi masukan bagi guru untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran IPA yaitu :
1.    Pelaksanaan pembelajaran IPA dengan menggunakan model pembelajaran penemuan, hendaknya lebih ditingkatkan lagi, karena dapat melatih kreatifitas dan keberanian peserta didik dalam mengungkapkan pendapatnya.
2.    Guru hendaknya lebih banyak memberikan kesempatan peserta didik untuk aktif dalam proses pembelajaran karena hal ini dapat mempermudah pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran.
3.    Guru hendaknya selalu berusaha meningkatkan pengetahuannya dengan cara membaca buku-buku yang berkaitan dengan pelajaran IPA agar tidak tertinggal dengan perkembangan pengetahuan yang terjadi sekarang ini sehingga lebih variatif dalam setiap melaksanakan proses pembelajaran IPA.
  





Senin, September 28, 2015

PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA

A.  Pengertian dan Hakekat Pemecahan Masalah
Terdapat banyak interpretasi tentang pemecahan masalah dalam matematika. Di antaranya pendapat Polya (1985) yang banyak dirujuk pemerhati matematika. Polya mengartikanpemecahan masalah sebagai suatu usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan guna mencapai suatu tujuan yang tidak begitu segera dapat dicapai. Sementara Sujono (1988) melukiskan masalah matematika sebagai tantangan bila pemecahannya memerlukan kreativitas, pengertian dan pemikiran yang asli atau imajinasi. Berdasarkan penjelasan Sujono tersebut maka sesuatu yang merupakan  masalah bagi seseorang, mungkin  tidak  merupakan masalah bagi orang lain atau merupakan hal yang rutin saja.
Ruseffendi (1991b) mengemukakan bahwa suatu soal merupakan soal pemecahan masalah bagi seseorang bila ia memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menyelesaikannya, tetapi pada saat ia memperoleh soal itu ia belum tahu cara menyelesaikannya. Dalam kesempatan lain Ruseffendi (1991a) juga mengemukakan bahwa suatu persoalan itu merupakan masalah bagi seseorang jika: pertama, persoalan itu tidak dikenalnya. Kedua, siswa harus mampu menyelesaikannya, baik kesiapan mentalnya maupun pengetahuan siapnya; terlepas daripada apakah akhirnya ia sampai atau tidak kepada jawabannya. Ketiga, sesuatu itu merupakan pemecahan masalah baginya, bila ia ada niat untuk menyelesaikannya.
Lebih spesifik Sumarmo (1994) mengartikan pemecahan masalah sebagai kegiatan menyelesaikan soal cerita, menyelesaikan soal yang tidak rutin, mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau keadaan lain, dan membuktikan atau menciptakan atau menguji konjektur. Berdasarkan pengertian yang dikemukakan Sumarmo tersebut, dalam pemecahan masalah matematika tampak adanya kegiatan pengembangan daya matematika (mathematical power) terhadap siswa.
Pemecahan masalah merupakan salah satu tipe keterampilan intelektual yang menurut Gagné, dkk (1992) lebih tinggi derajatnya dan lebih kompleks dari tipe keterampilan intelektual lainnya. Gagné, dkk (1992) berpendapat bahwa dalam menyelesaikan pemecahan masalah diperlukan aturan kompleks atau aturan tingkat tinggi dan aturan tingkat tinggi dapat dicapai setelah menguasai aturan dan konsep terdefinisi. Demikian pula aturan dan konsep terdefinisi dapat dikuasai jika ditunjang oleh pemahaman konsep konkrit. Setelah itu untuk memahami konsep konkrit diperlukan keterampilan dalam memperbedakan.
Keterampilan-keterampilan intelektual tersebut digolongkan Gagné berdasarkan tingkat kompleksitasnya dan disusun dari operasi mental yang paling sederhana sampai pada tingkat yang paling kompleks.
Oleh karena itu dengan mengacu pada pendapat-pendapat di atas, maka pemecahan masalah dapat dilihat dari berbagai pengertian. Yaitu, sebagai upaya mencari jalan keluar yang dilakukan dalam mencapai tujuan. Juga memerlukan kesiapan, kreativitas, pengetahuan dan kemampuan serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu pemecahan masalah merupakan persoalan-persoalan yang belum dikenal; serta mengandung pengertian  sebagai  proses  berfikir  tinggi dan  penting  dalam pembelajaran matematika.
Pemecahan masalah merupakan kemampuan dasar yang harus dikuasai oleh siswa. Bahkan tercermin dalam konsep kurikulum berbasis kompetensi.  Tuntutan  akan  kemampuan  pemecahan masalah  dipertegas  secara eksplisit dalam kurikulum tersebut yaitu, sebagai  kompetensi dasar yang harus dikembangkan  dan diintegrasikan pada sejumlah materi yang sesuai.
Pentingnya kemampuan penyelesaian masalah oleh siswa dalam matematika ditegaskan juga oleh Branca (1980),
1.      Kemampuan menyelesaikan masalah merupakan tujuan umum   pengajaran matematika.
2.      Penyelesaian masalah yang meliputi metode, prosedur dan strategi merupakan proses inti dan utama dalam kurikulum matematika .
3.      Penyelesaian masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar matematika.
Pandangan bahwa kemampuan menyelesaikan masalah merupakan tujuan umum pengajaran matematika, mengandung pengertian bahwa matematika dapat membantu dalam memecahkan persoalan baik dalam pelajaran lain maupun dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya kemampuan pemecahan masalah ini menjadi tujuan umum pembelajaran matematika.
Pandangan pemecahan masalah sebagai proses inti dan utama dalam kurikulum matematika, berarti pembelajaran pemecahan masalah lebih mengutamakan proses dan strategi yang dilakukan siswa dalam menyelesaikannya daripada hanya sekedar hasil. Sehingga keterampilan  proses    dan   strategi    dalam   memecahkan   masalah   tersebut    menjadi
kemampuan dasar dalam belajar matematika.
Walaupun kemampuan pemecahan masalah merupakan kemam-puan yang tidak mudah dicapai, akan tetapi oleh karena kepentingan dan kegunaannya maka kemampuan pemecahan masalah ini hendaknya diajarkan kepada siswa pada semua tingkatan. Berkaitan dengan hal ini, Ruseffendi (1991b) mengemukakan beberapa alasan soal-soal tipe pemecahan masalah diberikan kepada siswa,
(1)     dapat menimbulkan keingintahuan dan adanya motivasi, menumbuhkan sifat kreatif.
(2)     disamping memiliki pengetahuan dan keterampilan (berhitung dan lain-lain), disyaratkan adanya kemampuan untuk terampil membaca dan membuat pernyataan yang benar;
(3)     dapat menimbulkan jawaban yang asli, baru, khas, dan beraneka ragam, serta dapat menambah pengetahuan baru;
(4)     dapat meningkatkan aplikasi dari ilmu pengetahuan yang sudah diperolehnya;
(5)     mengajak siswa memiliki prosedur pemecahan masalah, mampu membuat analisis dan sintesis, dan dituntut untuk membuat evaluasi tehadap hasil pemecahannya;
(6)     merupakan kegiatan yang penting  bagi siswa yang melibatkan bukan saja satu bidang studi tetapi mungkin bidang atau pelajaran lain.
B.   Langkah-Langkah Menyelesaikan Pemecahan Masalah Matematika
Cara memecahkan masalah dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya Dewey dan Polya. Dewey (dalam Rothstein dan Pamela 1990) memberikan lima langkah utama dalam memecahkan masalah,
1)    mengenali/menyajikan masalah: tidak diperlukan strategi pemecahan masalah jika bukan merupakan masalah; 2) mendefinisikan masalah: strategi pemecahan masalah menekan-kan pentingnya definisi masalah guna menentukan banyaknya kemungkinan penyelesian; 3) mengembangkan beberapa hipote-sis: hipotesis adalah alternatif penyelesaian dari pemecahan masalah; 4) menguji beberapa hipotesis: mengevaluasi kele-mahan dan kelebihan hipotesis; 5)  memilih hipotesis yang terbaik.
Sebagaimana Dewey, Polya (1985) pun menguraikan proses yang dapat dilakukan pada setiap langkah pemecahan masalah. Proses tersebut     terangkum  dalam  empat  langkah   berikut:  1)   memahami masalah (understanding the problem). 2) merencanakan penyelesaian (devising a plan).  3) melaksanakan rencana (carrying out the plan). 4) memeriksa proses dan hasil (looking back).
Lebih jauh Polya merinci setiap langkah di atas dengan pertanyaan-pertanyaan yang menuntun seorang problem solver menyelesaikan dan menemukan jawaban dari masalah. Sebagai contoh pada langkah memahami masalah diajukan pertanyaan-pertanyaan: Apa yang tidak diketahui? Data apa yang diberikan? Mungkinkah kondisi dinyatakan dalam bentuk  persamaan  atau  hubungan  lainnya?  Buatlah  gambar  dan  tulislah
notasi yang sesuai.
Pada langkah merencanakan penyelesaian diajukan pertanyaan di antaranya seperti: Pernah adakah soal seperti ini yang serupa sebelumnya diselesaikan? Dapatkah pengalaman yang lama digunakan dalam masalah yang sekarang?
Pada langkah melaksanakan rencana diajukan pertanyaan: Periksalah bahwa tiap langkah sudah benar? Bagaimana membuktikan bahwa langkah yang dipilih sudah benar? Dalam langkah memeriksa hasil dan proses, diajukan pertanyaan: Dapatkah diperiksa sanggahannya? Dapatkah jawaban itu dicari dengan cara lain?
Langkah-langkah penuntun yang dikemukakan Polya tersebut, dikenal dengan strategiheuristik. Strategi yang dikemukakan Polya ini banyak dijadikan acuan oleh banyak orang dalam penyelesaian masalah matematika.
Berangkat dari pemikiran yang dikemukakan oleh ahli tersebut, maka untuk menyelesaikan masalah diperlukan kemampuan pemahaman konsep sebagai prasyarat dan kemampuan melakukan hubungan antar konsep, dan kesiapan secara mental. Pada sisi lain berdasarkan pengamatan Soleh (1998), salah satu sebab siswa tidak berhasil dalam belajar matematika selama ini adalah siswa belum sampai pada pemahaman relasi (relation understanding), yang dapat menjelaskan hubungan antar konsep. Hal itu memberikan gambaran kepada kita adanya tantangan yang tidak kecil dalam mengajarkan pemecahan masalah matematika.
Daftar Pustaka:
Branca, N.A (1980). Problem Solving as a Goal, Process and Basic Skill. Dalam Krulik,S dan Reys,R.E (ed). Problem Solving in School Mathematics. NCTM: Reston. Virginia
Gagné,R.M, Briggs, L.J dan Wager, W.W (1992). Principles of Instructional Design (4nd ed).Orlando: Holt, Rinehart and Winstone, Inc.
Polya, G  (1985).  How to Solve It .  A  New  Aspect  of  Mathematical  Method (2nd ed). Princeton, New Jersey : Princeton University Press.
Rothstein dan Pamela,R (1990). Educational Pyschology. Singapore: McGraw-Hill, Inc.
Ruseffendi,E.T (1991a). Pengantar kepada Membantu Guru Mengem-bangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito
Ruseffendi,E.T (1991b). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon Guru. Bandung: Tidak diterbitkan.
Soleh,M (1998). Pokok-Pokok Pengajaran Matematika Sekolah. Jakarta: Depdikbud
Sujono (1988). Pengajaran Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta: Proyek Pengembangan LPTK, Depdikbud
Sumarmo,U, Dedy, E dan Rahmat (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk MeningkatkanPemecahan Masalah Matematika pada Guru dan Siswa SMA. Laporan Hasil Penelitian FPMIPA IKIP Bandung


Sabtu, September 26, 2015

JARI MATIKA PERKALIAN 11-15

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Keberhasilan pendidikan ditentukan oleh banyak hal baik siswa, guru, masyarakat, pemerintah maupun yang lainnya. Salah satunya adalah bagaimanaa siswa dalam pelajaran MATEMATIKA terutama dalam pemahaman kosep melalui kinerja MATEMATIKA.
Di sekolah dasar sudah diperkenalkan beberapa konsep MATEMATIKA walaupun masih sederhana dan terbatas sesuai dengan tingkatan perkembangan siswa.
Untuk menumbuhkan kreatifitas, siswa diberi tugas membuat atau merancang alat percobaan yang sederhana.

B.       Alasan Pemilihan Judul
Alasan pemilihan judul adalah sebagai berikut :
1.         Rancangan dan proses pembuatannya tidak begitu sulit.
2.         Peralatan dan bahan – bahan yang diperlukan dalam pembuatan Jari Matika Perkalian 11 – 15 banyak terdapat disekitar lingkungan sekkolah dan rumah sehingga mudah dalam proses pembuatannya.

C.      Tujuan
Dalam pembuatan Jari Matika Perkalian 11 – 15 ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1.         Untuk mengetahu konsep MATEMATIKA dengan Jari Matika Perkalian 11 – 15.
2.         Untuk membuktikan kebenaran beberapa konsep MATEMATIKA dalam Jari Matika Perkalian 11 – 15.

D.      Manfaat
Manfaat pembuatan Jari Matika Perkalian 11 – 15 ini adalah sebagai berikut :
1.         Untuk memperkarya khasanah pengetahuan tentang kinerja MATEMATIKA khususnya dan ilmu yang lain pada umumnya.
2.         Sebagai alat kinerja atau alat peraga dalam pembelajaran MATEMATIKA.



















BAB II
TEKNIK PEMBUATAN

A.   Alat dan Bahan
Dalam desain Jari Matika Perkalian 11 – 15, cukup sederhana dimana bahan – bahan yang digunakan adalah dari bahan kertas.
1. Bahan
Bahan yang dibutuhkan:
Ø Kertas asturo 5 lembar, karton 1 lembar, buffalo 10 lembar, papan
Ø Isolasi besar, lem glukol
2. Alat
Alat yang digunakan adalah :
Ø  Gunting
Ø  Penggaris
Ø  Penghapus
Ø  Pensil
Ø  Pisau

B.   Cara Pembuatan
1.    Kita potong kertas buffalo dengan ukuran 10 x 12 cm sebanyak 20 buah, dan ukuran 8 x 10 sebanyak 20 kemudian kita tulis kertas – kertas tersebut dengan angka 1 sampai 5 yang masing – masing angkanya berjumlah 4 buah. Setelah itu, kita buat kantong – kantong dari kertas, kantong ini dibuat dengan cara melipat kertas membentuk seperti kantong yang pada bagian tengah di beri lubang segi empat (10 cm x 12 cm sebanyak 4 buah, 8cm x 10 cm sebanyak 10 buah). Kantong – kantong ini berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan angka – angka.
2.    Kemudian kita buat gambar tangan kita sebanyak 2 buah kanan dan kiri.
3.    Kemudian karena kinerja Matematika ini membahas tentang perkalain maka kita buat tanda perkalaian (X) sebanayak 3 buah, tanda penjumlahan (+) sebanyaak 2 buah dan tanda sama dengan (=) sebanyak 2 buah.
4.   
Kemudiaan kita susun kantong – kantong kertas sebagai kotak soal yang ada menjadi seperti gambar di bawah ini :
 




5.    Kemudian, kita buat Jari Matika Perkalian 11 – 15 dimana gambar tangan, kantong – kantong ukuran 8 x 10 cm, 1 tanda perkalain dan 1 tanda sama dengan di susun.
6.    Setelah langkah – langkah itu sudah dilaksanakan, maka alat kinerja Matematika selesai dibuat.











BAB III
CARA KERJA DAN KOSEP MATEMATIKA

A. Cara Kerja
Cara kerja Jari Matika Perkalian 11 – 15 adalah sebagai berikut :
1.        kita tentukan soal perkalian 11 – 15 ( misal : 11 x 14 =). Perlu diingat bahwa 1 kantong diisi oleh 1 angka, maka terlihat pada gambar di bawah :
2.        yang harus diingat pada jari matika perkalian 11 – 15 adalah nilai – nilai pada jari tangan sebagai berikut :
a.    jari kelingking nilainya 11
b.    jari manis nilainya 12
c.    jari tengah nilainya 13
d.   jari telunjuk nilainya 14
e.    ibu jari nilainya 15
3.    Posisi awal tangan menggenggam, karena soalnya adalah 11 x 14 maka :
ü tangan kanan membuka jari kelingking dan tangan kiri membuka jari kelingking, manis, tengah dan telunjuk.
ü Awalnya kita mempunyai 100 kemudian tangan kanan jari yang dibuka 1 dan tangan kiri 4 jumlahnya 5 dan dijadikan puluhan jadi 50.
ü Tangan kana nada 1 jari yang dibuka, kiri ada 4 jari yang dibuka maka 1 dikali 4 hasilnya 4
ü Kita mempunyai 100, 50, dan 4 maka 100 + 50 + 4 = 154
ü Jadi hasil dari 11 x 14 = 154

B. Konsep Matematika
Seorang pasien di beri 24 kapsul oleh dokter dan dalam bungkus tertulis 3 x 2 sehari, ini dimaksudkan agar pasien tersebut minum obat setiap hari tiga kali minum dua kapsul (pagi 2, siang 2 dan sore 2), karena sehari 6 kapsul maka pasien akan menghabiskan obat selama 4 hari.
Sehingga dari 3 x 2 = 2 + 2 + 2 = 6
4 x 6 = 6 + 6 + 6 + 6 = 24
Perhatikan bentuk perkalian berikut :
……………………………………………














BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan tersebut di atas dapat penulis simpulkan sebagai berikut :
1.      Jari Matika Perkalian 11 – 15 dapat mempercepat menyelesaikan soal perkalian.
2.      Jari Matika Perkalian 11 – 15 dapat menambah pengetahuan dan sebagai pembuktian kebenaran beberapa konsep MATEMATIKA.
3.      Jari Matika Perkalian 11 – 15 dapat digunakan sebagai salah satu alat kinerja atau alat peraga dalam pembelajaran MATEMATIKA di sekolah dasar. Selain mudah cara membuatnya, alat dan bahan – bahannya banyak terdapat di sekitar lingkuran kita, sehingga menumbuhkan kreativitas dan pelajaran MATEMATIKA pun mudah dimengerti dan dipahami.

B. Saran
1.      Tak ada gading yang tak retak, kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
2.      Ada beberapa saran yang perlu disampaikan antara lain : dalam penggunaan bahan – bahan untuk membuat Jari Matika Perkalian 11 – 15 sebaiknya menggunakan bahan yang bervariasi sehingga akan didapat hasil yang lebih baik lagi.
3.      Semoga isi dalam makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Dan pada akhirnya terwujud cita – cita dan tujuan yang kita harapkan.




Lampiran