BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Setiap warga Negara Indonesia
mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Pendidikan yang
diperoleh dapat terjadi baik secara formal, informal maupun non formal.
Pendidikan yang terjadi dalam lingkungan sekolah sering disebut dengan
pendidikan formal, sebab sudah memiliki rancangan pendidikan berupa kurikulum
tertulis yang tersusun secara jelas dan rinci.
Pendidikan di sekolah sebagian besar terjadi dalam kelas dan
lingkungan sekolah, dan sebagian kecil terjadi di lingkungan masyarakat. Dalam
pendidikan terdapat beberapa komponen penting. Dimana komponen-komponen
tersebut saling berkaitan antara komponen satu dengan komponen yang lainnya.
Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang memungkinkan terjadinya
interaksi antara pendidik, peserta didik, alat / media dan lingkungan belajar.
Dengan adanya interaksi yang baik antara pendidik, peserta didik, alat / media
dan lingkungan belajar, maka tujuan pembelajaran akan tercapai secara optimal.
Dalam hal ini guru dituntut aktif, kreatif dan inovatif serta mempunyai
kemampuan untuk merencanakan dan melaksanakan program pembelajaran.
Pembelajaran IPA dianggap mempunyai materi yang sulit
karena terdapat banyak istilah latin. Sebagian besar guru dalam menyajikan
pelajaran IPA kepada peserta didik menggunakan model pembelajaran dan metode
yang monoton, tidak bervariasi. Padahal pembelajaran IPA seharusnya menarik dan
memyenagkan bagi peserta didik, karena sebagian besar materi IPA terdapat
disekitar peserta didik. Misalnya materi tentang tumbuhan, perkembangbiakan,
gaya, magnet, lingkungan, panas dan lain sebagainya. Selain itu alat peraga /
media pembelajaran IPA juga dapat ditemukan disekitar peserta didik. Kegiatan
pembelajran IPA dapat diikuti secara aktif oleh peserta didik melalui
eksperimen, pengamatan bahkan dengan penemuan. Disini bukan guru yang
berceramah, bercerita, dan mendominasi kegiatan belajar, sehingga mampu
menumbuhkan motivasi peserta didik untuk belajar. Dengan demikian tujuan
pembelajaran dapat tercapai secara optimal.
Tolok ukur keberhasilan guru adalah apabila peserta didik mampu memahami
dan menguasai materi yang disampaikan yang diukur dari hasil tes baik tertulis
maupun lisan untuk mendapatkan informasi dari hasil pembelajaran
Seorang guru akan melaksanakan
tindak lanjut setelah melaksanakan evaluasi baik pengayaan maupun remedial. Hal
ini bertujuan untuk mencapai tujuan pembelajaran secara optimal. Dari hasil tes
formatif mata pelajaran IPA kelas IV tentang menggolongkan hewan, berdasarkan jenis makanannya, hanya 5 dari 22 peserta didik yang mencapai
ketuntasan belajar hanya 23 %.
Berdasarkan data di atas penulis ingin meningkatkan
pemahaman peserta didik tentang materi pelajaran dengan melakukan perbaikan
pembelajaran melalui PTK ( Penelitian Tindakan Kelas ) yang dilaksanakan dengan
teman sejawat dan supervisor.
B.
Identifikasi Masalah.
Dari hasil tes formatif mata pelajaran IPA kelas IV tentang menggolongkan
hewan, berdasarkan jenis makanannya hanya 5 peserta didik dari 22 peserta didik yang
mencapai tingkat pemahaman dan penguasaan materi 70 % keatas. Dari data tersebut ternyata selama
proses pembelajaran berlangsung terlihat peserta didik kurang memperhatikan,
kurang termotivasi untuk belajar, tidak mau bertanya pada guru dan sulit menangkap
pelajaran.
Berdasarkan data yang diperoleh diatas tersebut,
peneliti akan memperbaiki proses pembelajaran melalui PTK untuk meningkatkan
pemahaman materi dan motivasi serta hasil belajar peserta didik.
Untuk mengidentifikasi permasalahan dari proses pembelajaran yang
dilaksanakan, peneliti minta bantuan teman sejawat dan supervisor. Dari hasil
pengamatan teman sejawat dan supervisor ditemukan beberapa permasalahan yaitu :
1.
Kurangnya motivasi peserta
didik untuk belajar.
2.
Peserta didik kurang memperhatikan
penjelasan guru.
3.
Peserta didik tidak mau
bertanya kepada guru.
4.
Peserta didik sulit menangkap
materi pelajaran.
5.
Pemahaman dan penguasaan peserta
didik terhadap materi rendah.
C.
Pembatasan Masalah
Berdasarkan
identifikasi masalah diatas, agar peneliti lebih terarah dan diharapkan masalah
yang dikaji lebih mendalam, perlu adanya pembatasan masalah yang akan diteliti.
Adapun
pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Metode pembelajaran yang akan digunakan dalam peneltian ini adalah model
menemukan ( Discovery Learning).
2.
Keaktifan peserta didik dalam
pembelajaran dibatasi pada keaktifan peserta didik untuk ikut terlibat dalam
menguasai materi pokok menggolongkan
hewan, berdasarkan jenis makanannya.
3.
Materi IPA dibatasi pada pokok
bahasan menggolongkan hewan, berdasarkan jenis makanannya kelas IV.
D.
Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan
hasil analisis yang dilakukan peneliti serta masukan teman sejawat dan bantuan
supervisor maka ditemukan rumusan masalahnya yaitu :
1.
Bagaimanakah upaya meningkatkan
keaktifan peserta didik pada pembelajaran IPA melalui penggunaan model menemukan ( Discovery
Learning) di kelas IV SD Negeri Cilibur 01
semester I tahun pelajaran 2014/2015?
2.
Bagaimanakah peningkatan kemampuan
peserta didik pada pembelajaran IPA
melalui penggunaan model menemukan ( Discovery Learning) di
kelas IV SD Negeri Cilibur 01 semester I
tahun pelajaran 2014/2015
3.
Bagaimanakah peningkatan prestasi
belajar peserta didik pada pembelajaran IPA melalui penggunaan model menemukan ( Discovery
Learning) di kelas IV SD Negeri Cilibur 01
semester I tahun pelajaran 2014/2015?
E.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini
antara lain :
1.
Untuk meningkatkan keaktifan peserta
didik pada pembelajaran IPA melalui penggunaan model menemukan ( Discovery Learning) di kelas IV
SD Negeri Cilibur 01 semester I tahun
pelajaran 2014/2015.
2.
Untuk mengetahui peningkatan kemampuan
peserta didik pada pembelajaran IPA melalui penggunaan model menemukan ( Discovery Learning) di kelas IV
SD Negeri Cilibur 01 semester I tahun pelajaran
2014/2015.
3.
Untuk mengetahui peningkatan
hasil belajar pada pembelajaran IPA melalui penggunaan model menemukan ( Discovery Learning) di kelas IV
SD Negeri Cilibur 01 semester I tahun
pelajaran 2014/2015.
F.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan manfaat baik bagi peneliti, peserta
didik maupun sekolah.
1.
Manfaat bagi peneliti :
a.
Dapat memperbaiki proses
pembelajaran yang dikelolanya.
b.
Dapat meningkatkan kualitas
pembelajaran.
c.
Dapat memperbaiki kinerja.
d.
Dapat menambah rasa percaya
diri.
2.
Manfaat bagi peserta didik :
a.
Motivasi belajar peserta didik
meningkat.
b.
Meningkatkan keaktifan peserta
didik dalam belajar.
c.
Meningkatkan pemahaman dan
penguasaan materi pelajaran.
d.
Merangsang peserta didik untuk
mengungkapkan ide.
e.
Prestasi belajar peserta didik
meningkat.
3.
Manfaat bagi sekolah :
a.
Memotivasi guru lain untuk
melaksanakan model pembelajaran yang bervariasi.
b.
Meningkatkan mutu pendidikan di
sekolah.
c.
Meningkatkan proses
pembelajaran di sekolah.
BAB
II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Landasan Teoretis
Penyelenggaraan
kegiatan belajar di sekolah hendaknnya berorientasi pada perkembangan peserta
didik. Hal ini dikarenakan anak pada tingkat usia sekolah dasar memiliki
karakteristik tersendiri. Menyimak pendapat Bredkamp (1087) konsep “Developmental appropiateness” menunjukkan
bahwa pendekatan pengajaran yang berorientasi pada perkembangan anak itu
mempunyai dua dimensi pemahaman. Pertama adalah dimensi umur (age aprropriate) dan yang kedua adalah
dinmensi individual (individually aprropriate).
Dengan memahami
dimensi umur peserta didik, guru dalam menyelenggarakan itu tidak akan pernah
bisa mengabaikan aspek perkembangan peserta didik. Misalnya diakui Bredkamp
bahwa : hasil pendidikan mengenai perkembangan mannusia itu memperlihatkan hal
yang berlaku umum (universal), yakni
adanya perkembangan yang dapat diramalkan mengenai pertumbuhan (grounth) dan perubahan (cange) yang terjadi terutama selama usia
9 tahun pertama. Perubahan yang bisa diramalkan itu menyangkut kognitif.
Pemahaman tentang keunikan perkembangan peserta didik dalam rentang waktu
(umur) tersenut selayaknya menjadi acuan atau dasar filosofis setiap pelayanan program pengajaran yang
disediakan guru. Guru sepatutnya mampu mempersiapkan dan menyediakan lingkungan
belajar dan pengalaman belajar yang benar – benar appropriate (layak, pantas, cocok, padat atau tepat) dengan
perkembangan anak.
Belajar merupakan
hasil interaksi antara pikiran dan pengalaman anak dengan bahan, gagasan, dan
orang lain haruslah cocok (matched) dan menantang (challenging) minat dan
pemahaman peserta didik. Hal tersebut tentu saja memberi tuntutan kepada guru
untuk dapat menciptakan lingkungan belajar yang dapat menampung semua kebutuhan
peserta didik. Kaitannya dengan pembelajaran matematika guru dituntut untuk
merancang dan mampu melaksanakan strategi belajar yang tepat.
Seiring terdengar keluhan
dari para guru di lapangan tentang materi
yang terlalu banyak dan kekurangan waktu untuk mengajarkannya semua,
apalagi menerapkan inovasi-inovasi dalam pembelajaran bidang studi dalam kelas.
Keadaan ini berlaku juga dalam pembelajaran IPA.
IPA SD bukan hanya sekedar mengetahui materi ke-IPA-an
yang bersifat hafalan, tetapi pengajaran yang memberikan konsep dalam
mengembangkan cara berfikir yang sehat berdasarkan kaidah-kaidah IPA. Dalam
mempelajarinya tidaklah semua dapat dijelaskan dengan kalimat namun harus
melalui kegiatan pengolahan informasi yang menemukan kebutuhan-kebutuhan untuk
mengenal dan menjelaskan gejala yang ada di lingkungan sekitar.Kegiatan ini
meliputi pembentukan konsep-konsep yang dihasilkan melalui pengabstraksian dari
kesamaan kejadian-kejadian dan pengalaman-pengalaman.
Peran
guru dalam upaya membangun konsep peserta didik sangat diperlukan untuk
menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas.Untuk dapat menciptakan out
put yang cakap dan handal, profesi guru harus mau menggali dan
mengimplementasikan model pembelajaran. Model pembelajaran harus mampu
melibatkan peran aktif peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri secara bermakna, menunjukkan keterkaitan konsep-konsep atau
gagasan-gagasan antar peserta didik dalam mengkonstruksikan pengetahuan dan
mengaitkan gagasan peserta didik, hal tersebut sesuai dengan pandangan
konstruktivisme.
Menurut rujukan konstruktivisme, setiap orang
yang belajar sesungguhnya membangun pengetahuannya sendiri. Keberhasilan
belajar peserta didik tidak hanya bergantung pada lingkungan atau kondisi
belajar, tetapi juga pada pengetahuan awal peserta didik. Dalam belajar
melibatkan pembentukan makna oleh peserta didik dari apa yang mereka lakukan,
lihat dan dengar. ( West dan Pines, 1985 ). Pengetahuan tidak dapat dipindahkan
secara utuh dari pikiran guru ke peserta didik, namun secara aktif dibangun peserta
didik melalui pengalaman nyata mereka. Senada dengan pernyataan ini, belajar
IPA merupakan proses konstruktif yang menghendaki partisipasi aktif dari peserta
didik ( Piaget dalam Dohar,1996 ), sehingga pesan guru berubah, dari sumber dan
pemberi informasi menjadi pendiagnosis dan fasilitator belajar peserta didik.
Pembelajaran IPA harus dirancang sedemikian
rupa sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara maksimal. Rancangan
pembelajaran disebut juga model pembelajaran. Model pembelajaran dapat
digunakan sebagai suatu rencana atau kerangka untuk merancang mekanisme
pengajaran yang bermakna. Pembentukan makna merupakan suatu proses aktif yang
terus berlanjut.Maka agar pembelajaran IPA menjadi bermakna, diperlukan adanya
konteks ekologi konsepsi yang sesuai, misalnya rasa tidak puas pada anak atas
gagasan yang dimilikinya, gagasan baru yang dapat dimengerti ( intelligible),
konsepsi baru yang masuk akal (phosible) dan konsepsi baru yang bermanfaat (
fruitfull).
Seperti tertulis pada awal paragraf bahwa,
dalam proses belajar anak membangun pengetahuannya sendiri dan memperoleh
banyak pengetahuan di luar sekolah ( Dohar, 1986:160 ). Oleh karena itu, setiap
peserta didik akan membawa konsepsi awal mereka yang diperoleh selama
berinteraksi dengan lingkungan dalam kegiatan belajar mengajar. Dalam beberapa
penelitian ditemukan bahwa seseorang akan mengingat dan menggunakan kembali
pengetahuan yang diperoleh, apabila pengetahuan tersebut dari upaya
mengkonstruksi sendiri. ( Mc Namara dan Healy, 1995 ).
Belajar melalui pengalaman ( learning by
doing ) dalam bentuk eksplorasi dan memanipulasi akan menjadikan sesuatu yang
dipelajari diingat untuk waktu yang lama (Long term memory). Dan khususnya bagi
anak-anak usia sekolah dasar, sesuai dengan tahap perkembangannya. Mereka lebih
mudah memahami sesuatu fenomena melalui pengalaman kongkrit, dibandingkan hanya
mendengar dari guru atau membaca materi pelajaran.
Dari beberapa uraian di atas peneliti
berpendapat bahwa untuk lebih memudahkan pemahaman peserta didik dalam
pelajaran IPA, peneliti menggunakan model pembelajaran penemuan ( Discovery
learning ). Adapun pengertian model pembelajaran penemuan ialah suatu rencana
atau kerangka yang dapat digunakan untuk merancang mekanisme pengajaran yang
bermakna dalam mengkonstruksi pengetahuan peserta didik itu sendiri.Agar
belajar peserta didik menjadi bermakna maka, diperlukan adanya konteks ekologi
konsepsi yang sesuai, misalnya rasa tidak puas pada anak atas gagasan yang
dimilikinya, gagasan baru yang dapat dimengerti ( intelligible), konsepsi baru
yang masuk akal (phosible) dan konsepsi baru yang bermanfaat ( fruitfull).
Model pembelajaran menemukan ( Discovery Learning ) memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk berinteraksi dengan lingkungan fisik
ataupun sosialnya. Peserta didik berkesempatan untuk mengungkapkan gagasannya
secara eksplisit dengan menggunakan bahasa peserta didik sendiri, berbagai
gagasan dengan temannya, dan mendorong peserta didik memberikan penjelasan
tentang gagasannya. Melalui pengalamannya peserta didik dapat berpikir kreatif,
imajinatif, mendorong refleksi teori dan modul, dan mengenalkan gagasan-gagasan
SAINS pada saat yang tepat. Kegiatan mencoba-coba gagasan baru dapat mendorong peserta
didik untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks baik
yang telah dikenal maupun yang baru, hingga akhirnya memotivasi peserta didik
untuk menggunakan berbagai strategi belajar secara mandiri. Disamping itu,
lingkungan belajar yang kondusif dapat mendorong peserta didik mengungkapkan
gagasan, saling menyimak dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang
benar. Jadi dengan model pembelajaran discovery ini guru hanya membantu peserta
didik dan bertugas menciptakan suatu konflik terhadap peserta didik untuk
mengungkapkan atau mengemukakan gagasannya, dan memberi kesempatan kepada peserta
didik untuk melakukan eksperimen, observasi atau membaca melalui interaksi
sosial.
Adapun menurut Brunner model pembelajaran
penemuan dianggap sesuai dengan hakiki manusia yang mempunyai sifat untuk
selalu ingin mencari ilmu pengetahuan secara aktif, memecahkan masalah dan
informasi yang diperolehnya, serta akhirnya akan mendapatkan pengetahuan yang
bermakna.
Model pembelajaran penemuan dipandang sebagai
suatu proses pembelajaran yang terjadi apabila siwa tidak diberikan dengan
konsep atau teori, melainkan peserta didik sendiri yang harus mengelola dan
melakukan penemuan sehingga dapat menemukan konsep atau teori itu.Hal ini
mensyaratkan peserta didik untuk menemukan hubungan-hubungan diantara informasi
yang ada. Menurut Brunner, tujuan pembelajaran penemuan bukan hanya untuk
memperoleh pengetahuan saja melainkan untuk memberikan motivasi kepada peserta
didik, melatih kemampuan berpikir intelektual, dan merangsang keingin tahuan peserta
didik.
Brunner mengemukakan bahwa proses
pembelajaran di kelas bukan untuk menghasilkan perpustakaan hidup untuk suatu
subyek keilmuwan tetapi untuk melatih peserta didik berpikir secara kritis
untuk dirinya, mempertimbangkan hal-hal yang ada disekelilingnya, dan
berpartisipasi secara aktif didalam
proses mendapatkan pengetahuan. Disini jelas bahwa proses pembelajaran yang
dianjurkan oleh Brunner merupakan proses pembelajaran dimana peserta didik
secara aktif mencari sendiri pengetahuan yang diinginkan.
Satu ciri utama dari proses pembelajaran
penemuan ini adalah keterlibatan guru yang jauh lebih sedikit dibandingkan
dengan metode pembelajaran lainnya. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa seorang
guru terbebas dari pemberian bimbingan terhadap peserta didik saat diberikan
masalah yang harus dipecahkan. Secara singkat, Brunner memberikan tiga ciri
utama pembelajaran penemuan, yaitu :
a.
Keterlibatan peserta didik
dalam proses belajar.
b.
Peran guru adalah sebagai
seorang penunjuk dan pengarah bagi peserta didiknya yang mencari informasi.
Jadi guru bukan sebagai penyampai informasi.
c.
Umumnya dalam proses
pembelajaran digunakan barang-barang nyata.
Dengan demikian,
melalui model pembelajaran menemukan ( Discovery learning ) proses belajar
mengajar dapat terjadi secara baik. Dalam proses pembelajaran menemukan ini,
akan terjadi interaksi antara guru dengan peserta didik, peserta didik dengan peserta
didik, maupun peserta didik dengan lingkungan secara aktif. Oleh karena itu,
pemahaman peserta didik lebih optimal dan tujuan pembelajaran dapat dicapai
dengan maksimal.
B.
Penelitian yang Relevan
Penelitian
yang relevan dilakukan oleh Yupita (2012) yang berjudul “Penerapan Model Discovery Learning untuk meningkatkan
Hasil Belajar IPS di Sekolah Dasar” yang menghasilkan menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model discovery dapat meningkatkan aktivitas guru
dan siswa serta hasil belajar siswa. Hal ini terbukti dari hasil pengamatan yang diperoleh pada tiap siklusnya. Pada siklus
I, aktivitas guru mencapai 78,57%, aktivitas siswa 66,07%, dan hasil belajar siswa 63,89%. Pada siklus II, aktivitas
guru mencapai 83,9%, aktivitas siswa 78,6%, dan hasil belajar siswa 77,77%. Dan pada siklus III, aktivitas guru mencapai
91,07%, aktivitas siswa 87,5%, dan hasil belajar siswa 94,44%. Maka dapat disimpulkan bahwa penerapan model
pembelajaran discovery yang dilaksanakan dalam pembelajaran IPS pada materi perkembangan teknologi dapat
meningkatkan aktivitas guru, aktivitas siswa, dan hasil belajar siswa kelas IV SDN Surabaya.
Penelitian yang dilakukan oleh Pamungkas (2013) dengan judul “Penerapan
Model Discovery Learning untuk
Meningkatkan Keaktifan Siswa Kelas IV pada Mata Pelajaran IPA di SD Negeri 01
Putatsari Kabupaten Grobogan Tahun Pelajaran 2012/2013” dengan hasil siklus I keaktifan belajar siswa 52,78%. Sedangkan siklus II terjadi peningkatan keaktifan belajar
siswa menjadi 86,67%. Ditinjau dari hasil
penelitian, maka penerapan model Discovery
Learning dapat meningkatkan keaktifan belajar siswa pada mata pelajaran
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dengan materi
perubahan kenampakan bumi. Dengan demikian, guru dapat menggunakan model Discovery Learning sebagai inovasi model pembelajaran untuk meningkatkan kesktifan belajar siswa dan
hasil belajar siswa.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Sulbani (2014) berjudul “Upaya
Meningkatkan Prestasi Belajar IPA dengan Pendekatan Discovery Learning pada Siswa Kelas IV MI Muhammadiyah Nogosari
Girimulyo Kulon Progo Yogyakarta” menghasilkan proses pelaksanaan pembelajaran
dengan pendekatan Discovery Learning di
MI Muhammadiyah Nogosari pada materi perubahan penampakan pada bumi dan benda
langit dilaksanakan dengan menggunakan penalaran, menyusun bukti, menjelaskan,
memecahkan masalah, dan mengkomunikasikan gagasan sesuai materi, kegiatan
belajar mengajar menggunakan pendekatan Discovery
Learning dapat meningkatkan prestasi siswa kelas IV MI Muhammadiyah
Nogosari dengan peningkatan rata-rata sebanyak 20,00, nilai tersebut didapat
dari rata-rata sebelum pembelajaran Discovery
Learning 58,57, dan nilai rata-rata sesudah pembelajaran Discovery Learning 78,57 dengan demikian
pendekatan Discovery Learning dapat
digunakan untuk meningkatkan prestasi belajar di MI Muhammadiyah Nogosari.
C.
Kerangka Berpikir
Dari kajian teori yang peneliti paparkan di
atas,dapat peneliti garis bawahi bahwa untuk meningkatkan pemahaman peserta
didik terhadap materi pembelajaran IPA model pembelajaran yang sesuai adalah
model pembelajaran penemuan ( Discovery Learning ). Dalam proses pembelajaran
penemuan dapat terjadi interaksi yang baik antara pendidik, peserta didik dan
lingkungan. Dengan demikian pemahaman peserta didik dapat meningkat dan tujuan
pembelajaran tercapai. Hal ini dikarenakan peserta didik terlibat aktif dalam
proses pembelajaran, memecahkan masalah dan memperoleh informasi yang
diinginkan, serta akhirnya akan mendapatkan pengetahuan yang bermakna.
Kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat digambarkan pada skema di bawah ini.
D.
Hipotesis Tindakan
Setelah melalui kajian
teori dan kerangka berpikir diatas, dapat peneliti rumuskan bahwa penggunaan
model pembelajran penemuan ( Discovery Learning ) dapat meningkatkan pemahaman peserta
didik tentang menggolongkan hewan, berdasarkan jenis makanannya pada materi
pembelajaran IPA. Hal ini dikarenakan dalam pembelajaran penemuan terjadi interaksi
aktif antar komponen pendidikan dalam proses pendidikan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Penelitian Tindakan Kelas Mata Pelajaran IPA Kelas IV Semester I di SD Negeri Cilibur 01 dengan
Judul “Upaya Meningkatkan Keaktifan dan Prestasi Belajar Peserta Didik pada Pembelajaran IPA Melalui Model Discovery Learning di Kelas IV SD Negeri Cilibur 01
Semester I Tahun Pelajaran 2014/2015”, menghasilkan simpulan sebagai berikut :
1.
Penggunaan model pembelajaran
penemuan dalam pelajaran IPA sangat penting karena dapat membantu peserta didik
dalam berpikir secara konkret. Hal
ini terbukti dari 22 peserta didik sebanyak 20 peserta didik yang tuntas dalam
pembelajaran atau 90,91%.
2.
Dengan melakukan percobaan
dapat memudahkan peserta didik memahami materi dan mengingatnya kembali.
3.
Kegiatan pembelajaran dengan
menggunakan beberapa percobaan dapat menarik minat peserta didik dan peserta
didik termotivasi untuk belajar dengan sungguh-sungguh sehingga peserta didik
benar-benar aktif dalam belajar.
4.
Dengan menggunakan model
pembelajaran penemuan pada proses pembelajaran maka hasil prestasi belajar peserta
didik lebih meningkat.
B. Saran
Berdasarkan
kesimpulan dari kegiatan PTK yang telah dilaksanakan, ada beberapa hal yang
sebaiknya menjadi masukan bagi guru untuk meningkatkan kualitas proses
pembelajaran IPA yaitu :
1.
Pelaksanaan pembelajaran IPA
dengan menggunakan model pembelajaran penemuan, hendaknya lebih ditingkatkan
lagi, karena dapat melatih kreatifitas dan keberanian peserta didik dalam
mengungkapkan pendapatnya.
2.
Guru hendaknya lebih banyak
memberikan kesempatan peserta didik untuk aktif dalam proses pembelajaran
karena hal ini dapat mempermudah pemahaman peserta didik terhadap materi
pelajaran.
3.
Guru hendaknya selalu berusaha
meningkatkan pengetahuannya dengan cara membaca buku-buku yang berkaitan dengan
pelajaran IPA agar tidak tertinggal dengan perkembangan pengetahuan yang
terjadi sekarang ini sehingga lebih variatif dalam setiap melaksanakan proses
pembelajaran IPA.